"Ahmad, ini ada surat untukmu.", suara pak sipir tegas mengangetkanku ketika aku sedang berdzikir.
Aku buka surat itu, hanya ada beberapa baris kata saja disitu, tapi itu membuatku bersyukur atas hidup ini
"Ahmad bagaimana keadaanmu disana? sudah tahun kesepuluh kau berpuasa sendiri, Nurul juga kangen ingin bertemu denganmu mad. Semoga orang-orang disana memperlakukanmu dengan baik"
Lalu aku tersenyum, terima kasih ibu, seraya menulis surat balasan, air mata ku jatuh tak tertahankan lagi.
Aku adalah seorang laki-laki berumur 35 tahun yang divonis bersalah karena dituduh membunuh majikanku di Jakarta, sementara aku meniggalkan ibu dan anakku di Jember. 15 tahun penjara bukanlah waktu yang sebentar, bagiku banyak yang telah aku lewatkan, melihat anak gadisku satu-satunya, Nurul, tumbuh dewasa dan kesempatan berbakti lebih kepada ibu yang harus terhalang jeruji besi disini. Istriku pergi meninggalkanku dan anak kami, setelah merasa tidak tahan dengan sikapku yang brutal dan terkesan tidak bertanggung jawab, belum lagi Nurul, ia lahir dalam keadaan cacat kaki permanen. Hal itu menjadi titik balik bagi hidupku. Aku ingat ketika ibuku memintaku membantunya membeli beras dan sayur di pasar, lalu uangnya malah aku pakai untuk berjudi, hari itu ia tidak makan apapun. Hal itu terjadi berulang-ulang, aku heran, aku merasa bersalah tapi keinginanku untuk berjudi tidak kalah besar, lalu aku bertanya mengapa ia selalu memintaku membeli sesuatu kalau akhirnya uang itu akan aku pakai untuk berjudi, ia hanya berkata, "kau anakku yang ku sayang Ahmad, aku percaya padamu dan suatu saat kau akan sadar", semenjak saat itu aku berhenti memakai uang ibuku untuk berjudi, tapi aku merampok. Mungkin tidak ada dosa yang aku lewatkan, bahkan karena hal ini pun aku sepertinya telah membunuh ayahku secara perlahan. Merampok, berjudi, mabuk-mabukan, hingga akhirnya aku menghamili wanita yang telah meninggalkan aku dan Nurul. Namanya Yanti dan aku mencintainya. Aku hanya berdoa semoga dia bisa bahagia.
Tinggalah aku, ibuku dan Nurul, aku tidak bisa seperti ini terus, lalu aku memutuskan untuk mencari kerja di Jakarta. Belum sampai 1 tahun, terjadilah musibah ini, aku difitnah membunuh kedua majikanku dan merampok semua hartanya, catatan kejahatanku sebelumnya justru memperparah keadaan, aku tidak bersalah dan harus tabah menerima 15 tahun kurungan penjara. Aku terima.
Sudah hampir 10 tahun aku tidak bertemu dengan ibu dan anakku, dan entah mengapa aku ingin sekali bertemu mereka lebih dari apapun. Pikirku, lebih baik aku mengambil air wudhu. Akhirnya aku bersimpuh dan sekali lagi berserah kepada Tuhan yang maha kuasa. Aku menangis dalam sujudku.
"Ahmad, sepertinya ada yang mengunjungimu", nada suara pak sipir yang sangat tegas terasa pudar, mungkin ia terharu setelah hampir 10 tahun, kini ada yang mengunjungiku, namun aku pun heran. Aku melihat sosok tua yang cemas dan anak gadis yang ketakutan, "Masya Allah, ibu, Nurul", tubuhku gemetaran dan kakiku terasa sangat lemah, aku berlutut sambil memeluk mereka. Mereka datang ke Jakarta berkat bantuan tetangga kami di Jember, "iya nak, ibu dan Nurul ikut mobil pak Rahman, kebetulan dia mau kirim barang ke Jakarta, ibu dan Nurul akan ikut pulang dengan mobil itu lagi besok lusa setelah merayakan lebaran denganmu disini", ya Tuhan, aku tidak tega mendengarnya, membayangkan mereka duduk di mobil dengan kap terbuka yang biasa dipakai untuk mengangkut barang, aku tidak berani menanyakannya, ku cium kedua tangan mereka.
Aku berlari kedalam bilik penjaraku, mengambil sebotol besar air dan wadah, lalu aku berdoa, sudah lama aku ingin melakukan ini. Sekali lagi aku berlutut didepan ibuku, melepaskan sendalnya, aku melihat kedua kakinya, tersirat beban hidup yang teramat sangat dan aku memohon ampun. Aku meletakan kakinya dalam wadah, berdoa, membasuhnya dengan air, berdoa, lalu aku mencium kakinya, aku merasakan surga, mohon ampun ya Allah, mohon ampun ibu, tak sengaja air itu bercampur dengan air mataku. Walaupun lebaran jatuhnya esok hari, aku tidak bisa menunda ini, aku ambil air ditelapak tanganku dan membasuhkannya ke wajah Nurul, "kamu harus tabah ya nak, kamu harus kuat dan jaga dengan baik nenekmu", aku merasakan pelukkan hangatnya.
"Sudah sedihnya, kita harus tersenyum dan gembira karena masih bisa berkumpul, besok kita merayakan hari kemenangan, nanti ibu dan Nurul kembali lagi besok ya mad, nikmatilah takbir yang menggema malam ini", ibu menggendong Nurul di punggungnya, kakinya lunglay, mereka pun hilang dalam kejauhan, aku tersenyum. Terima kasih ya Allah
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un",
"Ibu, ahmad meninggal sekitar tadi malam, dokter mengatakan serangan jantung, saya menemukan surat ini dibawah bantalnya, sepertinya ini surat dari ibu untuknya waktu itu"
Lalu dia buka surat itu, ada balasan dibawahnya,
"Ibu dan Nurul yang tercinta, alhamdulillah Ahmad disini baik-baik saja, Ahmad juga kangen bu, tapi ahmad tidak sendiri disini, ada Allah, banyak Malaikat yang menemani, walau ibu dan Nurul jauh disana, tapi rasa sayang dan cinta kasih kalian terasa sampai disini bu, dihati Ahmad, terima kasih bu, Ahmad mohon ampun, semoga ibu dan Nurul disana akan selalu baik-baik saja, selamat puasa bu, selamat lebaran"
ibu hanya diam, menangis, lalu tersenyum,
"alhamdulillah" ia berucap.
Gambar Via http://padang-today.com/up/berita/27042011191952PENJARA.jpg
MINAL AIDIN WAL FAIDZIN, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN